Whatever happen in my LIFE.......... GOD please help me to remember that nothing happen in this world that we can not handle TOGETHER

Thursday, April 17, 2008

Para Perempuan

Istilah perempuan bagi kalangan aktivis dan bagi kalangan berpendidikan sering dianggap lebih baik, lebih terhormat (karena mengandung pengertian “diempukan” atau dihormati) daripada istilah wanita (yang katanya mengandung makna “wani” yang “ditoto-toto”.) Sekian generasi, kaum perempuan berpendidikan berjuang membersihkan stigma diri sebagai “sesuatu yang cuma ditoto-toto” cuma demi melengkapi ke”elegan”an performance pria.

Setara. Kata itu mungkin belum sepenuhnya diberikan dengan lapang dada oleh para pria. Mereka selalu merasa level mereka jauh di atas kaum perempuan. Bias budaya, agama mengekalkan dominasi kaum pria ini. Dan dengan gamblang dijumpai dalam pembicaraan-pembicaraan terbuka, dalam tataran serius atau tidak. Karena sekian lama dibicarakan, hal itu sudah terinternalisasi dalam pikiran dan menjadi bias dalam ”attitude” sehari-hari.

Kesetaraan jender. Istilah ini sering pula dilahap atau diadopsi kalangan NGO/LSM di mana-mana dalam mencitrakan organisasi mereka yang menghargai HAM. Sayangnya kebanyakan masih sekedar diadopsi hanya sebagai sebuah persyaratan saja bukan dalam tataran ”action” yang sebenarnya.

Tulisan ini tak bermaksud berpanjang-panjang dengan perdebatan kaum feminis dalam membela kaumnya, dan bukan pula bermaksud menyatakan seseorang harus jadi feminis dahulu baru menyadari semua kenyataan yang terjadi di hadapannya, melainkan ini hanya sebuah ekspresi untuk mengungkap apa yang terjadi di hadapan.


Pertanyaan: benarkah keberadaan perempuan sungguh diterima sebagai mahluk yang sederajat, setara dengan kaum pria? Sekian lama merenung menimbang dari pengalaman yang ada, dengan muram aku menggelengkan kepala dengan perlahan. Jujur berkata..tidak, belum sampai di sana. Kesetaraan sering keliru hanya dilihat dari segi kuantitas perempuan dalam satu forum, atau institusi. Apakah itu bisa dianggap ”menghargai” atau memberi kesempatan setara? Sementara di tataran ”action”nya, perempuan banyak yang cenderung dijadikan ”benda estetis”.

Perempuan jelas bukan sekedar ”benda estetis”. Yang hanya diapresiasi sekedar memuaskan keinginan/kebosanan mata laki-laki dalam rapat-rapat, dalam perjalanan-perjalanan, atau asesoris dalam pelatihan. Yang sekedar mampu diapresiasi dan diterima, seolah perempuan sama dengan ”kecantikan, keelokan tubuh, keringkihan/kelemahan-lembutan”. Dan menolak perempuan yang berada diluar kriteria itu, perempuan yang mencoba berdiri atas alasan ingin dihargai menurut kontribusi pemikiran bukan pada eksploitasi penampilan tubuh.

Inilah yang harus kukatakan.

Aku menentang internalisasi istilah2 yang dilekatkan untuk merendahkan harkat seorang perempuan, sengaja atau tidak. Aku juga menolak ”wani” yang ”ditoto-toto” yang hadirnya sekedar melengkap-lengkapi performance kaum lelaki. Perempuan selayaknya diberi kesempatan berkembang, setara dengan para pria, mandiri dan diberi kesempatan, kepercayaan dan penghargaan yang setara. Bukan dikendalikan, atau ”ditoto-toto” menuruti kehendak kaum pria. Perempuan harus diberi kesempatan mengembangkan kapasitas diri, jangan seenaknya dinilai, dijatuhkan, dianggap tidak layak duduk setara.

Pada dasarnya, semua orang baik laki-laki maupun perempuan perlu proses dan pengalaman dalam pertumbuhannya. Masing-masing dihargai menurut proses dan pengalaman yang sudah dijalaninya. Jelas ada yang lebih dan ada yang kurang, namun jangan menjadi alasan yang dicari-cari untuk merendahkan orang lain.


.....petikan dari renunganlamaku


Sther

celebrating "Kartini Day"

No comments: