Setiba di rumah, aku segera mengirim sms pada
Semprul, sambil mesem aku melanjutkan melihat berita TV yang dipenuhi dengan ulasan dan laporan kematian Sang (mantan) presiden.
I wanna share... My Thought My Feeling My Sadness My Idea My Interest
Setiba di rumah, aku segera mengirim sms pada
Semprul, sambil mesem aku melanjutkan melihat berita TV yang dipenuhi dengan ulasan dan laporan kematian Sang (mantan) presiden.
Suatu hari aku memutuskan untuk berhenti ... berhenti dari pekerjaanku, berhenti dari hubunganku dengan sesama dan berhenti dari spiritualitasku. Aku pergi ke hutan untuk bicara dengan Tuhan untuk yang terakhir kalinya.
"Tuhan", kataku. "berikan aku satu alasan untuk tidak berhenti?"
Dia memberi jawaban yang mengejutkanku.
"Lihat ke sekelilingmu", kataNya. "Apakah engkau memperhatikan tanaman pakis dan bambu yang ada dihutan ini?"
"Ya", jawabku.
Lalu Tuhan berkata, "Ketika pertama kali Aku menanam mereka, Aku menanam dan merawat benih-benih mereka dengan seksama. Aku beri mereka cahaya. Aku beri mereka air. Pakis-pakis itu tumbuh dengan sangat cepat. Warna hijaunya yang menawan menutupi tanah. Namun, tidak ada yang terjadi dari benih bambu. Tapi, Aku tidak berhenti merawatnya.
Dalam tahun kedua, pakis-pakis itu tumbuh lebih cepat dan lebih banyak lagi. Namun, tetap tidak ada yang terjadi dari benih bambu. Tetapi Aku tidak menyerah terhadapnya. "
"Dalam tahun ketiga tetap tidak ada yang tumbuh dari benih bambu itu, tapi Aku tetap tidak menyerah. Begitu juga dengan tahun ke empat. "
"Lalu pada tahun ke lima, sebuah tunas yang kecil muncul dari dalam tanah. Bandingkan dengan pakis, itu kelihatan begitu kecil dan sepertinya tidak berarti.
Namun enam bulan kemudian, bambu ini tumbuh dengan mencapai ketinggian lebih dari 100 kaki. Dia membutuhkan waktu lima tahun untuk menumbuhkan akar-akarnya. Akar-akar itu membuat dia kuat dan memberikan apa yang dia butuhkan untuk bertahan. Aku tidak akan memberikan ciptaanku tantangan yang tidak bisa mereka tangani. "
"Tahukan engkau anakKu, dari semua waktu pergumulanmu, sebenarnya engkau sedang menumbuhkan akar-akarmu? Aku tidak menyerah terhadap bambu itu. Aku juga tidak akan pernah menyerah terhadapmu. "
Tuhan berkata "Jangan bandingkan dirimu dengan orang lain. Bambu-bambu itu memiliki tujuan yang berbeda dibandingkan dengan pakis. Tapi keduanya tetap membuat hutan ini menjadi lebih indah."
"Saat mu akan tiba", Tuhan mengatakan itu kepadaku. "Engkau akan tumbuh sangat tinggi"
"Seberapa tinggi aku harus bertumbuh?" tanyaku.
"Sampai seberapa tinggi bambu-bambu itu dapat tumbuh?" Tuhan balik bertanya.
"Setinggi yang mereka mampu?" Aku bertanya
"Ya." jawabNya, "Muliakan Aku dengan pertumbuhan mu, setinggi yang engkau dapat capai."
Lalu aku pergi meninggalkan hutan itu, menyadari bahwa Allah tidak akan pernah menyerah terhadap ku. Dan Dia juga tidak akan pernah menyerah terhadap Anda.
Jangan pernah menyesali hidup yang saat ini Anda jalani sekalipun itu hanya untuk satu hari.
Hari-hari yang baik memberikan kebahagiaan; hari-hari yang kurang baik memberikan pengalaman; kedua-duanya memberi arti bagi kehidupan ini.
Masih teringat satu perkataan seseorang tadi pagi. ”Itu cape dicari-cari” ketusnya atas jawabanku bahwa aku cape berupaya menjelaskan lagi kalau koneksi internetku memang selalu terputus—atas gangguan perbaikan jaringan kabel optik bawah laut bagi pengguna kabel optik (informasi yang kudapat kemudian).
Ditambah kondisi tubuh bersifat bulanan yang juga tak mau diajak kompromi, ikut memicu emosiku menjadi tidak stabil. Sempurnalah kekesalanku. Masih pagi aku sudah mengalami bad mood. Aku kesal harus berbasa-basi menjelaskan namun tak diapresiasi.
Namun dalam diam, ada satu perkataan melintas dipikiranku ”Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.” Hayaa..segera aku tersadar. Iya ya..mengapa aku harus marah atau kesal. Tak layak aku melampiaskan kekesalanku ini pada siapapun. Jadi masih bergantung padaku untuk menjadi lebih baik. Ada banyak alasan yang mampu memicu kemarahan atau kekesalan. Tapi kendali ada di tangan kita sendiri. Adakalanya kekesalan cukup ditelan saja bukan diumbar, karena pasti akan ada jalan keluar. Hanya soal waktu, karena ia akan mencari jalan penyelesaiannya sendiri. Be calm dear.....be still...Lets continue life.....life is so great..we have to celebrate it today, dont ruin it....
Adakala aku melewati hari-hari dengan perasaan kosong. Entah mengapa aku tiba-tiba disergap kesedihan dan merasa nelangsa. Bukankah mestinya aku bersukacita? Aku mengira dapat memiliki segala yang kuinginkan...ternyata tidak.. ada sesuatu yang sedang hilang dari diriku..
Sekian lama aku berlari ke sana ke sini untuk mencari jawab, tak jua kutemukan. Aku ditelan kesibukan tak bermakna dan melelahkan. Perlahan mataku terbuka, dan mulai melihat alasan mengapa hidupku menjadi semakin berantakan...
Akhirnya aku berhenti berlari. Lelah sudah, aku hanya mampu menengadah sembari menghela nafas panjang. Segalanya berantakan dan aku mulai terisak. Kekosongan dan kesedihanku ini telah membawaku ke titik awal lagi. Dan kutahu kini apa yang sudah terhilang….aku tak lagi menemukan Yesus di hatiku.
Hari ini, aku berserah, dan kembali dipenuhi kasih dan diperlengkapi. Sukacita kembali mengaliri hatiku. Sukacita yang tak butuh cost apapun. Yang diberikan secara cuma-cuma.
Lord, strenghthen me....
dari curahan hati hari ini...
Be blessed..
Menawari tamu-tamunya kopi, professor pergi ke dapur dan kembali dengan poci besar berisi kopi dan cangkir berbagai jenis. Dari porselin, plastik, gelas, kristal, gelas biasa, beberapa diantara gelas mahal dan beberapa lainnya sangat indah.
"Jika kalian perhatikan, semua cangkir yang indah dan mahal telah diambil, yang tertinggal hanyalah gelas biasa dan yang murah saja. Meskipun normal bagi kalian untuk mengingini hanya yang terbaik bagi diri kalian, tapi sebenarnya itulah yang menjadi sumber masalah dan stress yang kalian alami."
"Sekarang perhatikan hal ini : Kehidupan bagai kopi, sedangkan pekerjaan, uang dan posisi dalam masyarakat adalah cangkirnya. Cangkir bagaikan alat untuk memegang dan mengisi kehidupan. Jenis cangkir yang kita miliki tidak mendefinisikan atau juga mengganti kualitas kehidupan yang kita hidupi. Seringkali, karena berkonsentrasi hanya pada cangkir, kita gagal untuk menikmati kopi yang Tuhan sediakan bagi kita."
Pekerjaan akan datang dan pergi, namun itu seharusnya tidak merubah diri anda sebagai manusia. Pastikan anda membuat tabungan kesuksesan dalam kehidupan selain dari pekerjaan anda.
So enjoy your day and work and keep make relationship with others :)
Aku kembali ingin bersyukur padaMu Tuhan
Bersyukur karena Engkau selalu ada saat aku memanggilMu
Bersyukur atas semua keajaiban yang Kau perbuat padaku
Bersyukur karena Engkau telah begitu mengasihiku
Menggenggam erat tanganku kala aku takut dan lemah
Kutahu Engkau adalah Tuhan yang selalu memperdulikanku
Kemarin telah kulalui jalan yang penuh dengan onak duri
Namun Engkau sabar menuntunku melintasinya
Engkau membalut luka dan menghapus airmata
Saat kupinta kekuatan Engkau bri aku ketangguhan
Tuhan, Terimakasih Engkau telah menolongku
Melepaskan beberapa hal dalam hidup ini
Menghadapi kenyataan yang menyakitkan
Dan membisikkan Firman ke hatiku
Memberiku ketenangan dalam masa senyap ini
Kutahu Kau sedang memulihkan aku
Kutahu Engkau sedang menggantikan apa yang telah kulepas
Yang lebih baik yang terindah dari Tuhan
Engkau tahu apa yang kumaksudkan
Engkau sesungguhnya tak pernah membiarkanku sendirian
Terimakasih, Terimakasih Tuhan untuk kehangatan kasih setiamu
Ijinkan aku menaruh tanganku lebih erat lagi dalam genggamanMu
BersamaMU...apapun sanggup kuhadapi
excerpt from kontemplasiku di awal Jan 2008
Siang itu udara terasa agak gerah, namun sebagaimana biasa setiap sabtu siang, kami sudah bersiap-siap menyambut tamu-tamu Tuhan di ibadah tunawisma di Gedung Yayasan Kasih Bersaudara (YKB)
Sejak peristiwa itu, beberapa waktu kami ramai memperbincangkan keinginan ibu Pandia di milis.
Sayangnya, solidaritas yang muncul di antara kita sontak menyurut lagi karena ibu Pandia pun raib entah ke mana, tak pernah muncul lagi. Konon ia tidak lagi menumpang di bedeng-bedeng di kolong jembatan itu. Entah kemana ia pergi, tak ada yang perduli?
Setahun lamanya kehilangan jejak beliau, tak heran munculnya ibu Pandia sore itu membuat ingatan setahun lalu meruak kembali.
Seusai kebaktian, kucoba mengajak ibu Pandia berbincang-bincang, seraya bertanya tentang keberadaannya selama ini. Kami mengobrol sembari mengamati Ucok kecil yang sedang mengikuti kelas Sekolah Sabtu, kebaktian anak. "Ibu Pandia…Ucok sudah besar ya sekarang," celutukku seraya mengamati Ucok yang sedang tertawa riang mewarnai aktifitas sekolah sabtu.
"Ya…betul tahun lalu dia masih kelihatan kurus dan kecil, banyak orang nggak percaya kalau dia Ucok yang sakit-sakitan dulu"
"Ibu Pandia sejak kapan tinggal di
"Ha...bukan, dulu saya memang pernah kerja dan hidup di Sumatera, di Jambi.
"Lho..kenapa ibu pakai nama Pandia, itu
"Nama saya BANDIA…..Be…bukan Pandia..wong saya itu orang Jawa, asal saya dari Yogya kok".
Sembari menutupi rasa malu karena telah salah sangka, saya menggumam lirih "Ooooh…"
Cepat ia mengimbuhi lagi, "nah…Ucok itu memang orang Batak."
"Haaa….kok bisssa bu, bukankah Ucok anaknya Ibu?" tanyaku terbata.
"Bukan, dia bukan anak saya sendiri, saya memang merawatnya sejak ia lahir, tapi ibu bapaknya orang Batak, dari Borong-borong (mungkin maksudnya
" Lalu, ibu bapaknya di mana sekarang?"
"Ngga taulah.."
"Ibu sekarang tinggal di mana?"
"Di Pedongkelan dekat Kelapa Gading, sewa rumah petak"
"Ibu kerja apa saja sekarang?"
"Ngamen di prapatan jalan dekat situ, mangkal. Kalau capek aku suruh si Ucok menggantikanku nyanyi. Nyanyinya cuma bisa dua lagu, Heppi ye ye ye ye dan Dengar Dia Panggil Nama Saya" (sembari beliau menyanyikan lagu itu dengan suara sumbang dan nada yang berantakan). "Apa Ibu nggak kepingin kerja, misalnya membantu pekerjaan rumah tangga?"
"Wah, suka nggak cukup, si Ucok itu
"Memangnya kalau ngamen dapat berapa sehari?"
"Empat puluh atau
"Wah lumayan juga ya…"
"Ya, cuma saya itu suka malas kalau sudah dapat segitu. Saya bisa dua tiga hari tidak mengamen, di rumah saja"
Perbincangan itu pun usai seiring dengan selesainya ibadah Sekolah Sabtu untuk anak. Ibu Bandia dan Ucok pun bergegas pulang.
Tinggallah saya yang masih tercenung panjang, ingat akan realitas orang-orang terpinggirkan di
Saat terbersit pula keinginan untuk coba "memanusiakan" mereka, misalnya dengan mencari tempat bernaung yang aman atau mencarikan pekerjaaan sebagai pembantu rumah tangga (misalnya): bukankah terbukti hanya akan mengekang ekspresi mereka sebagai pribadi merdeka? Bukankah sudah jelas upah sebesar tiga atau empat ratus ribuan sebulan itu tidak sebanding dengan penghasilan yang bisa mereka raup di jalanan—empat-lima puluh ribu sehari ditambah dengan kemerdekaan diri yang tetap menjadi hak mereka seutuhnya?
Bagaimana cara kita mengubah cara pandang mereka agar terbebas dari jalanan dan menjalani hidup yang lebih "layak", lebih "manusiawi"? Bagaimana kepedulian kita? Apakah kita cukup berdiam diri dengan potret yang terpampang di pelupuk mata? Cukupkah dengan khotbah tentang hidup yang benar seminggu sekali? Atau adakah bentuk pendampingan lain?
Dan, aku masih saja termangu….
Sayup-sayup terngiang satu suara, semakin lama semakin nyata dan semakin jelas terdengar: "………segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku"
Aku masih saja termangu panjang…
Esther LS
Akhir Mei 2004