Whatever happen in my LIFE.......... GOD please help me to remember that nothing happen in this world that we can not handle TOGETHER

Sunday, January 27, 2008

Sang Presiden

Hari ini, Minggu 27 Januari 2008 sekitar pukul 13.15 aku dan Yuyun baru saja beranjak keluar dari Menteng, berkendaraan melewati jalan Teuku Umar dan mengelilingi taman Suropati menuju ke jalan Kuningan. Sepanjang jalan kami terheran-heran melihat banyaknya polisi yang berjaga-jaga, hampir di setiap perempatan jalan. ”Ada apa ya Yun, kok banyak polisi hari ini di jalanan” tanyaku masgul. Aku memang selalu tak senang melihat aparat keamanan terlalu banyak muncul di ruang publik terbuka, terlebih jika mengenakan senjata. Bagiku itu menyiratkan keadaan yang tidak aman. Namun, sambil mesem Yuyun tangkas menjawab: “ Ya biasalah Ka, ini kan sudah tanggal tua”.


Sore hari, di rumah, baru menyadari ternyata banyaknya polisi di jalan tadi adalah karena alasan lain. Pak Harto meninggal. Sang mantan presiden RI yang berkuasa selama 32 tahun akhirnya menutup buku kehidupannya di usia 86, tepatnya pukul 13.10 WIB. Terjawab sudah keheranan tadi. Ternyata polisi-polisi itu sedang mengamankan jalan untuk membawa jenazah ke Cendana Menteng. Beruntunglah kami sempat melintasi jalan-jalan tersebut sebelum akhirnya ditutup selama beberapa waktu.


Setiba di rumah, aku segera mengirim sms pada Yuyun ”Yun, seharusnya tadi kita sempatkan mampir ke Cendana karena ternyata Babe yang meninggal”. Meneruskan guyon, Yuyun menimpali: ”Kakak lihat tidak, tadi ada ambulance yang parkirnya berpindah-pindah terus. Soalnya mereka itu sedang bingung mau dilewatkan dari mana, takut ga aman. Tadi aku sudah bilang kok sama Mba Tutut, lewat mana sajalah Mba, wong Bapak sudah meninggal. Jadi lewat mana-mana ya bisa..... gak akan ada kok yang mau coba bunuh.”

Semprul, sambil mesem aku melanjutkan melihat berita TV yang dipenuhi dengan ulasan dan laporan kematian Sang (mantan) presiden.

Friday, January 25, 2008

One day I decided to quit...



A friend just sent this story this evening, and touched my heart personally too. Thanks sis..
Sometime in my life...I felt very discouraged too...

One day I decided to quit...

I quit my job, my relationship, my spirituality... I wanted to quit my life.
I went to the woods to have one last talk with God.

"God", I said. "Can you give me one good reason not to quit?"

His answer surprised me...
"Look around", He said. "Do you see the fern and the bamboo?"
"Yes", I replied.

When I planted the fern and the bamboo seeds, I took very good care of them.
I gave them light. I gave them water.
The fern quickly grew from the earth.
Its brilliant green covered the floor.
Yet nothing came from the bamboo seed.
But I did not quit on the bamboo.
In the second year the Fern grew more vibrant and plentiful.
And again, nothing came from the bamboo seed.
But I did not quit on the bamboo. He said.
"In the third year, there was still nothing from the bamboo seed.
But I would not quit. In the fourth year, again, there was nothing from the bamboo seed.
"I would not quit." He said. "Then in the fifth year a tiny sprout emerged from the earth.

Compared to the fern it was seemingly small and insignificant...
But just 6 months later the bamboo rose to over 100 feet tall.

It had spent the five years growing roots.

Those roots made it strong and gave it what it needed to survive.
I would not give any of my creations a challenge it could not handle."

He said to me. "Did you know, my child, that all this time you have been struggling, you have actually been growing roots."

"I would not quit on the bamboo. I will never quit on you. " Don't compare yourself to others .." He said.
" The bamboo had a different purpose than the fern ... Yet, they both make the forest beautiful."

Your time will come, " God said to me. " You will rise high! " How high should I rise?" I asked.

How high will the bamboo rise?" He asked in return.

"As high as it can? " I questioned.

" Yes. " He said, "Give me glory by rising as high as you can. "

I left the forest and bring back this story.

I hope these words can help you see that God will never give up on you.

He will never give up on you.

Never regret a day in your life.

Good days give you happiness

Bad days give you experiences;

Both are essential to life.

A happy and meaningful life requires our continuous input and creativity.
It does not happen by chance. It happens because of our choices and actions.
And each day we are given new opportunities to choose and act and, in doing so, we create our own unique journey." Keep going...

Happiness keeps you Sweet,
Trials keep you Strong,
Sorrows keep you Human,
Failures keep you humble,
Success keeps You Glowing,
But Only God keeps You Going!

Bambu dan Pakis

Suatu hari aku memutuskan untuk berhenti ... berhenti dari pekerjaanku, berhenti dari hubunganku dengan sesama dan berhenti dari spiritualitasku. Aku pergi ke hutan untuk bicara dengan Tuhan untuk yang terakhir kalinya.

"Tuhan", kataku. "berikan aku satu alasan untuk tidak berhenti?"

Dia memberi jawaban yang mengejutkanku.

"Lihat ke sekelilingmu", kataNya. "Apakah engkau memperhatikan tanaman pakis dan bambu yang ada dihutan ini?"

"Ya", jawabku.

Lalu Tuhan berkata, "Ketika pertama kali Aku menanam mereka, Aku menanam dan merawat benih-benih mereka dengan seksama. Aku beri mereka cahaya. Aku beri mereka air. Pakis-pakis itu tumbuh dengan sangat cepat. Warna hijaunya yang menawan menutupi tanah. Namun, tidak ada yang terjadi dari benih bambu. Tapi, Aku tidak berhenti merawatnya.

Dalam tahun kedua, pakis-pakis itu tumbuh lebih cepat dan lebih banyak lagi. Namun, tetap tidak ada yang terjadi dari benih bambu. Tetapi Aku tidak menyerah terhadapnya. "

"Dalam tahun ketiga tetap tidak ada yang tumbuh dari benih bambu itu, tapi Aku tetap tidak menyerah. Begitu juga dengan tahun ke empat. "

"Lalu pada tahun ke lima, sebuah tunas yang kecil muncul dari dalam tanah. Bandingkan dengan pakis, itu kelihatan begitu kecil dan sepertinya tidak berarti.

Namun enam bulan kemudian, bambu ini tumbuh dengan mencapai ketinggian lebih dari 100 kaki. Dia membutuhkan waktu lima tahun untuk menumbuhkan akar-akarnya. Akar-akar itu membuat dia kuat dan memberikan apa yang dia butuhkan untuk bertahan. Aku tidak akan memberikan ciptaanku tantangan yang tidak bisa mereka tangani. "

"Tahukan engkau anakKu, dari semua waktu pergumulanmu, sebenarnya engkau sedang menumbuhkan akar-akarmu? Aku tidak menyerah terhadap bambu itu. Aku juga tidak akan pernah menyerah terhadapmu. "

Tuhan berkata "Jangan bandingkan dirimu dengan orang lain. Bambu-bambu itu memiliki tujuan yang berbeda dibandingkan dengan pakis. Tapi keduanya tetap membuat hutan ini menjadi lebih indah."

"Saat mu akan tiba", Tuhan mengatakan itu kepadaku. "Engkau akan tumbuh sangat tinggi"

"Seberapa tinggi aku harus bertumbuh?" tanyaku.

"Sampai seberapa tinggi bambu-bambu itu dapat tumbuh?" Tuhan balik bertanya.

"Setinggi yang mereka mampu?" Aku bertanya

"Ya." jawabNya, "Muliakan Aku dengan pertumbuhan mu, setinggi yang engkau dapat capai."

Lalu aku pergi meninggalkan hutan itu, menyadari bahwa Allah tidak akan pernah menyerah terhadap ku. Dan Dia juga tidak akan pernah menyerah terhadap Anda.

Jangan pernah menyesali hidup yang saat ini Anda jalani sekalipun itu hanya untuk satu hari.

Hari-hari yang baik memberikan kebahagiaan; hari-hari yang kurang baik memberikan pengalaman; kedua-duanya memberi arti bagi kehidupan ini.


Monday, January 21, 2008

Kesal itu manusiawi

Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang

Masih teringat satu perkataan seseorang tadi pagi. ”Itu cape dicari-cari” ketusnya atas jawabanku bahwa aku cape berupaya menjelaskan lagi kalau koneksi internetku memang selalu terputus—atas gangguan perbaikan jaringan kabel optik bawah laut bagi pengguna kabel optik (informasi yang kudapat kemudian).

Dua hari terakhir koneksi internet memang mendadak anjlok. Beberapakali mencoba men download namun gagal karena hubungan yang seringkali terputus. Aku mulai kesal. Kemudahan yang selama ini kuperoleh tiba-tiba macet, dan sistem kehidupan tiba-tiba ikut-ikutan macet. Betapa aku sudah dikendalikan dan bergantung pada media ini.

Ditambah kondisi tubuh bersifat bulanan yang juga tak mau diajak kompromi, ikut memicu emosiku menjadi tidak stabil. Sempurnalah kekesalanku. Masih pagi aku sudah mengalami bad mood. Aku kesal harus berbasa-basi menjelaskan namun tak diapresiasi.

Namun dalam diam, ada satu perkataan melintas dipikiranku ”Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.” Hayaa..segera aku tersadar. Iya ya..mengapa aku harus marah atau kesal. Tak layak aku melampiaskan kekesalanku ini pada siapapun. Jadi masih bergantung padaku untuk menjadi lebih baik. Ada banyak alasan yang mampu memicu kemarahan atau kekesalan. Tapi kendali ada di tangan kita sendiri. Adakalanya kekesalan cukup ditelan saja bukan diumbar, karena pasti akan ada jalan keluar. Hanya soal waktu, karena ia akan mencari jalan penyelesaiannya sendiri. Be calm dear.....be still...Lets continue life.....life is so great..we have to celebrate it today, dont ruin it....

Saturday, January 19, 2008

Sesuatu Yang Hilang Dari Hatiku...

Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan

Adakala aku melewati hari-hari dengan perasaan kosong. Entah mengapa aku tiba-tiba disergap kesedihan dan merasa nelangsa. Bukankah mestinya aku bersukacita? Aku mengira dapat memiliki segala yang kuinginkan...ternyata tidak.. ada sesuatu yang sedang hilang dari diriku..

Sekian lama aku berlari ke sana ke sini untuk mencari jawab, tak jua kutemukan. Aku ditelan kesibukan tak bermakna dan melelahkan. Perlahan mataku terbuka, dan mulai melihat alasan mengapa hidupku menjadi semakin berantakan...

Akhirnya aku berhenti berlari. Lelah sudah, aku hanya mampu menengadah sembari menghela nafas panjang. Segalanya berantakan dan aku mulai terisak. Kekosongan dan kesedihanku ini telah membawaku ke titik awal lagi. Dan kutahu kini apa yang sudah terhilang….aku tak lagi menemukan Yesus di hatiku.

Hari ini, aku berserah, dan kembali dipenuhi kasih dan diperlengkapi. Sukacita kembali mengaliri hatiku. Sukacita yang tak butuh cost apapun. Yang diberikan secara cuma-cuma.

Lord, strenghthen me....



dari curahan hati hari ini...

Be blessed..


Friday, January 18, 2008

NIKMATILAH KOPINYA ,... BUKAN CANGKIRNYA

I wanna share this story with all of my friends. Somebody had forwarded it to me, and my turn now to share this good story for you....enjoy

Sekelompok alumni University California of Berkeley yang telah mapan dalam karir masing-masing berkumpul dan mendatangi professor kampus mereka yang telah tua. Percakapan segera terjadi dan mengarah pada komplain tentang stess di pekerjaan dan kehidupan mereka.

Menawari tamu-tamunya kopi, professor pergi ke dapur dan kembali dengan poci besar berisi kopi dan cangkir berbagai jenis. Dari porselin, plastik, gelas, kristal, gelas biasa, beberapa diantara gelas mahal dan beberapa lainnya sangat indah.

Dan mengatakan pada para mantan mahasiswanya untuk menuang sendiri kopinya.

Setelah semua mahasiswanya mendapat secangkir kopi di tangan, professor itu mengatakan :

"Jika kalian perhatikan, semua cangkir yang indah dan mahal telah diambil, yang tertinggal hanyalah gelas biasa dan yang murah saja. Meskipun normal bagi kalian untuk mengingini hanya yang terbaik bagi diri kalian, tapi sebenarnya itulah yang menjadi sumber masalah dan stress yang kalian alami."

"Pastikan bahwa cangkir itu sendiri tidak mempengaruhi kualitas kopi. Dalam banyak kasus, itu hanya lebih mahal dan dalam beberapa kasus bahkan menyembunyikan apa yang kita minum. Apa yang kalian inginkan sebenarnya adalah kopi, bukanlah cangkirnya, namun kalian secara sadar mengambil cangkir terbaik dan kemudian mulai memperhatikan cangkir orang lain."

"Sekarang perhatikan hal ini : Kehidupan bagai kopi, sedangkan pekerjaan, uang dan posisi dalam masyarakat adalah cangkirnya. Cangkir bagaikan alat untuk memegang dan mengisi kehidupan. Jenis cangkir yang kita miliki tidak mendefinisikan atau juga mengganti kualitas kehidupan yang kita hidupi. Seringkali, karena berkonsentrasi hanya pada cangkir, kita gagal untuk menikmati kopi yang Tuhan sediakan bagi kita."

Tuhan memasak dan membuat kopi, bukan cangkirnya. Jadi nikmatilah kopinya, bukan cangkirnya.

Sadarilah jika kehidupan anda itu lebih penting dibanding pekerjaan anda. Jika pekerjaan anda membatasi diri anda dan mengendalikan hidup anda, anda menjadi orang yang mudah diserang dan rapuh akibat perubahan keadaan.

Pekerjaan akan datang dan pergi, namun itu seharusnya tidak merubah diri anda sebagai manusia. Pastikan anda membuat tabungan kesuksesan dalam kehidupan selain dari pekerjaan anda.

So enjoy your day and work and keep make relationship with others :)

Videos I love to watch..

Music duel: Jewish klezmer vs Gipsy music - Train de vie




Thursday, January 17, 2008

Kontemplasiku....


Menapaki langkah di tahun yang baru

Aku kembali ingin bersyukur padaMu Tuhan

Bersyukur karena Engkau selalu ada saat aku memanggilMu

Bersyukur atas semua keajaiban yang Kau perbuat padaku

Bersyukur karena Engkau telah begitu mengasihiku

Menggenggam erat tanganku kala aku takut dan lemah

Kutahu Engkau adalah Tuhan yang selalu memperdulikanku

Kemarin telah kulalui jalan yang penuh dengan onak duri

Namun Engkau sabar menuntunku melintasinya

Engkau membalut luka dan menghapus airmata

Saat kupinta kekuatan Engkau bri aku ketangguhan

Tuhan, Terimakasih Engkau telah menolongku

Melepaskan beberapa hal dalam hidup ini

Menghadapi kenyataan yang menyakitkan

Dan membisikkan Firman ke hatiku

Memberiku ketenangan dalam masa senyap ini

Kutahu Kau sedang memulihkan aku

Kutahu Engkau sedang menggantikan apa yang telah kulepas

Yang lebih baik yang terindah dari Tuhan

Engkau tahu apa yang kumaksudkan

Engkau sesungguhnya tak pernah membiarkanku sendirian

Terimakasih, Terimakasih Tuhan untuk kehangatan kasih setiamu

Ijinkan aku menaruh tanganku lebih erat lagi dalam genggamanMu

BersamaMU...apapun sanggup kuhadapi


excerpt from kontemplasiku di awal Jan 2008

Monday, January 14, 2008

Testimonial Ayah

Kemarin, secara kebetulan sempat bertemu beberapa sepupuku di Jakarta. Dan mendapat cerita menarik dari mereka. Sebuah testimonial tentang almarhum ayahku. Aku sangat excited mendengar cerita ini. Karena ingatan akan ayah sudah banyak terhapus waktu, mengingat beliau telah lama berpulang ke rumah Bapa.

Mereka bercerita pernah bertemu satu ibu (family dari calon menantunya) yang mengenal baik keluarga kami sejak dulu. Lalu secara kebetulan dalam perbincangan mereka berbagi cerita tentang satu keluarga yang sama-sama mereka kenal, keluarga kami.

Sang ibu (Ny. Simatupang-Togatorop--mama Jetty) itu bercerita:
Aku mengenal keluarga Siagian dengan baik, ayah ibu dan semua anak-anaknya. Kami tinggal berdekatan, di lingkungan pemukiman yang sama. Almarhum ayahnya baik dan bijaksana, dan sangat disegani semua orang. Sayangnya dia cepat berpulang.
Dahulu, setiap ada permasalahan di lingkungan kami, ayahnya lah yang dipanggil untuk menjadi juru damai. Dia memang bijaksana.
Pernah satu ketika, kami bertengkar dengan seorang tetangga hanya karena seekor entok (sejenis itik) yang kami perebutkan. Masing-masing kami bersikeras mempertahankan seekor entok yang sama, yang kami akui sebagai milik kami.

Keributan itu cepat ditengahi Amang (Bapak) Siagian. Dia lalu mengambil entok itu, dan pergi ke pasar. Di sana ia membeli dua ekor entok lain. Lalu kembali. Satu diberikan pada kami, yang satu lagi pada tetangga kami itu. lalu entok yang menjadi sumber pertengkaran dia berikan juga, sambil berkata, "Loppa hamu ma entok on, asa adong sipanganonta" artinya "masaklah entok ini, dan makanlah bersama-sama".

Aku terkesima mendengar testimoni tentang ayahku ini. Sebuah kutipan kejadian yang begitu jelas digambarkan ibu itu dan belum pernah kudengar sebelumnya. Aku terharu bisa mengenang almarhum ayahku lagi saat ini. Sudah lama aku tahu Ayahku memang seorang yang baik dan bijaksana. Sayang, dia telah pergi saat belum satu orang pun anaknya beranjak dewasa. Kenangan bahwa dia yang acap dipanggil menengahi permasalahan di lingkungan kami dulu juga masih sayup kuingat. Malah dalam partangiangan di lingkungan kami, beliau sering pula diminta menyampaikan pesan Firman Tuhan. Sekalipun bukan seorang majelis gereja atau sintua. Beliau memang rajin membaca firman, dan buku lainnya untuk memperluas pengetahuan dan wawasan.

Aku jadi teringat lagi. Ayahku juga sangat rajin meletakkan landasan iman dalam hidup keluarga kami. Setiap malam dia sering mengajak kami membaca dan merenungkan "Bohal Partondion" nya yang tebal atau "Bekal Iman", sekarang lazim disebut saat teduh. Dahulu peristiwa itu masih kurasakan sebagai pemaksaan karena aku belum mengerti. Namun, berjalannya waktu membuatku justru mendambakan saat itu bisa terulang kembali. Aku rindukan momen-momen yang tak akan pernah terulang lagi. Dan, aku pun rindu spirit persatuan dan perdamaian yang pernah diteladankan Ayah itu bisa hadir lagi dalam keluarga kami. Aku merindukan itu...yang entah kenapa belakangan sedikit terkoyak oleh perselisihan-perselisihan kecil di antara kami anak-anaknya.

Ah kakak-kakak dan adikku....ayo bergandeng tangan. Rekatkan kasih di antara kita. Mari kita kembali pada semangat perdamaian yang pernah diajarkan dan di teladankan Ayah dahulu. Jangan mau ada perpecahan apapun juga. Mari rekatkan dengan semangat Kasih. Kasih yang sempurna yang selalu ingin memberi yang terbaik. Jangan lupakan dan putuskan kisah ini...yang mengingatkan teladan kasih, teladan perdamaian, dari almarhum Ayah tercinta.

Tuhan...persatukan kami dalam tali KasihMU..........

Ayah...engkau selalu ada dihatiku..

More photos from Norcia





Keterangan gambar:
foto 1: Rahib bermain
foto 2: Rahib bekerja
foto 3: Norcia

Sang Rahib........



Seorang temanku, jelang akhir tahun 2006 lalu memutuskan menjadi seorang Rahib di San Benedetto, Norcia, Italia. Teman yang selalu enak diajak bicara, rendah hati, tertib, penolong, cerdas, talented, dan punya minat yang sama denganku. Dulu, aku suka sharing padanya dan minta pendapatnya. Meski sering berselang lama tak bertemu, namun selalu easily mengungkapkan segala hal dengannya. Aku sedikit kaget dengan keputusannya untuk mendedikasikan seluruh hidupnya menjadi seorang Rahib di satu Biara Santo Bennediktus, di Norcia. Jauh sekali. Tapi dia emang punya kualitas untuk menjadi Rahib. Niat bertemu dengannya menjelang kepergiannya juga tak sempat terlaksana. Aku hanya merasa akan kehilangan kehangatan perhatian dari seorang teman yang sangat ku apresiet. Tak akan banyak waktu lagi untuk saling berbagi pemikiran dan pendapat. I missed him anyway. Beberapakali sempat menyapanya lewat messenger. Namun tak banyak lagi waktu terbagi. Dan pagi ini kutrima imil ucapan salam natalnya yang mungkin terasa lambat. Namun itu membuat aku mengenangnya sesaat. God be with you my friend....

Pax!

Di hari terakhir masa Natal ini, saya ucapkan salam Natal dan Tahun Baru dari kota kelahiran Santo Benediktus, Norcia, Italia.
Terima
kasih atas segala kiriman ucapan, berita, dan lain-lain dari kapanpun juga yang belum terbalas. Mohon maaf dan maklum sebesar-besarnya, karena sebagai rahib saya tidak punya banyak kesempatan berkorespondensi. Di tahun ini “kiranya Allah mengasihani kita dan memberkati kita, kiranya Ia menyinari kita dengan wajah-Nya” (Mazmur 67:2).

In Domino,

www.osbnorcia.org

Thursday, January 10, 2008

Potret realitas Kemiskinan Kota

Nama saya Bandia bukan Pandia

Siang itu udara terasa agak gerah, namun sebagaimana biasa setiap sabtu siang, kami sudah bersiap-siap menyambut tamu-tamu Tuhan di ibadah tunawisma di Gedung Yayasan Kasih Bersaudara (YKB) Jakarta. Tiba-tiba seorang ibu—mengenakan daster bermotif bunga yang sudah usang—masuk tergesa seraya membimbing seorang bocah kecil yang juga dekil. Ingatan terhadap ibu ini menyentak sesaat, lalu keluar seruan: 'apa kabar Ibu Pandia, sudah lama tidak datang, kemana saja selama ini?' Sedikit bingung ia menjawab seadanya, 'Yaa…saya juga baru diberitahu orang-orang kalau tempat ibadah sudah pindah ke sini, kan saya tidak tinggal di kolong lagi,' katanya.

Sesaat kenangan itu melintas di ingatan. Setahun lalu, seusai ibadah anak-anak yang diadakan di kolong jembatan kereta api di Cikini, ibu ini datang berkeluh kesah sambil tersedu. Ia bercerita tentang kesulitannya membesarkan Ucok yang masih kecil. Saat itu, Ucok sedang terserang batuk dan demam. Ia mengungkapkan kesulitannya bertahan hidup di jalanan dan merasa risau dengan pendidikan Ucok kelak. Ia pun memohon agar dibantu untuk menitipkan anak tersebut ke panti asuhan supaya pendidikan dan masa depannya lebih terjamin.
Sejak peristiwa itu, beberapa waktu kami ramai memperbincangkan keinginan ibu Pandia di milis. Ada yang mencoba mencarikan kesempatan pekerjaan untuk ibu itu sebagai pramuwisma di rumah temannya, beberapa teman lain mencoba mencari informasi tentang alternatif panti asuhan yang mungkin bisa menampung bocah kecil itu.
Sayangnya, solidaritas yang muncul di antara kita sontak menyurut lagi karena ibu Pandia pun raib entah ke mana, tak pernah muncul lagi. Konon ia tidak lagi menumpang di bedeng-bedeng di kolong jembatan itu. Entah kemana ia pergi, tak ada yang perduli?
Setahun lamanya kehilangan jejak beliau, tak heran munculnya ibu Pandia sore itu membuat ingatan setahun lalu meruak kembali.
Seusai kebaktian, kucoba mengajak ibu Pandia berbincang-bincang, seraya bertanya tentang keberadaannya selama ini. Kami mengobrol sembari mengamati Ucok kecil yang sedang mengikuti kelas Sekolah Sabtu, kebaktian anak. "Ibu Pandia…Ucok sudah besar ya sekarang," celutukku seraya mengamati Ucok yang sedang tertawa riang mewarnai aktifitas sekolah sabtu.
"Ya…betul tahun lalu dia masih kelihatan kurus dan kecil, banyak orang nggak percaya kalau dia Ucok yang sakit-sakitan dulu"
"Ibu Pandia sejak kapan tinggal di Jakarta, asalnya dari Sumatera kah, dari Karo ya?"
"Ha...bukan, dulu saya memang pernah kerja dan hidup di Sumatera, di Jambi. Ada rumah petak cuma nggak kerasan di sana. Aku ketemu anakku laki-laki, yang sudah besar, sekalipun sudah 16 tahun tak bertemu. Tapi ya katanya anak, kuterima saja sekalipun lupa-lupa ingat. Cuma belakangan nggak tahan soalnya anak itu suka bawa teman anak-anak muda ke rumah jadi saya pergi tinggalkan rumah dan hidup di jalanan." Ia berkisah lebih jauh kalau pernah kawin beberapa kali, tapi cerai, anak-anaknya entah di mana ia pun kurang tahu.
"Lho..kenapa ibu pakai nama Pandia, itu kan salah satu marga dari Suku Karo di Sumatera Utara, dan anak itu disebut dengan Ucok pula?"
"Nama saya BANDIA…..Be…bukan Pandia..wong saya itu orang Jawa, asal saya dari Yogya kok".
Sembari menutupi rasa malu karena telah salah sangka, saya menggumam lirih "Ooooh…"
Cepat ia mengimbuhi lagi, "nah…Ucok itu memang orang Batak."
"Haaa….kok bisssa bu, bukankah Ucok anaknya Ibu?" tanyaku terbata.
"Bukan, dia bukan anak saya sendiri, saya memang merawatnya sejak ia lahir, tapi ibu bapaknya orang Batak, dari Borong-borong (mungkin maksudnya kota Siborong-borong di Tapanuli Utara). Nama ibunya Rosida. Sejak hamil ia bilang mau beri anak itu pada saya. Jadi waktu lahir, suster yang merawatnya membawa orok itu pada saya sembari bilang. 'Ini si Ucok sudah lahir'. Sejak itu namanya dipanggil Ucok saja"
" Lalu, ibu bapaknya di mana sekarang?"
"Ngga taulah.."
"Ibu sekarang tinggal di mana?"
"Di Pedongkelan dekat Kelapa Gading, sewa rumah petak"
"Ibu kerja apa saja sekarang?"
"Ngamen di prapatan jalan dekat situ, mangkal. Kalau capek aku suruh si Ucok menggantikanku nyanyi. Nyanyinya cuma bisa dua lagu, Heppi ye ye ye ye dan Dengar Dia Panggil Nama Saya" (sembari beliau menyanyikan lagu itu dengan suara sumbang dan nada yang berantakan). "Apa Ibu nggak kepingin kerja, misalnya membantu pekerjaan rumah tangga?"
"Wah, suka nggak cukup, si Ucok itu kan suka jajan. "
"Memangnya kalau ngamen dapat berapa sehari?"
"Empat puluh atau lima puluh ribu"
"Wah lumayan juga ya…"
"Ya, cuma saya itu suka malas kalau sudah dapat segitu. Saya bisa dua tiga hari tidak mengamen, di rumah saja"
Perbincangan itu pun usai seiring dengan selesainya ibadah Sekolah Sabtu untuk anak. Ibu Bandia dan Ucok pun bergegas pulang.
Tinggallah saya yang masih tercenung panjang, ingat akan realitas orang-orang terpinggirkan di Jakarta ini. Bagaimana cara kita mengulurkan tangan untuk mengurai persoalan Bandia-Bandia lain yang terserak di sekitar Jakarta?Betapa kompleks permasalahannya. Ada soal hilang atau hancurnya nilai-nilai "keluarga" yang sering diagung-agungkan dalam standar manusia "beradab", apalagi "beragama".
Ada soal pemanfaatan anak bawah umur demi mencari sesuap nasi. Di sisi lain ada sentuhan rasa kasih dari seorang Ibu yang rela mengasuh anak terbuang sekalipun ia sendiri terbuang dari masyarakatnya.
Saat terbersit pula keinginan untuk coba "memanusiakan" mereka, misalnya dengan mencari tempat bernaung yang aman atau mencarikan pekerjaaan sebagai pembantu rumah tangga (misalnya): bukankah terbukti hanya akan mengekang ekspresi mereka sebagai pribadi merdeka? Bukankah sudah jelas upah sebesar tiga atau empat ratus ribuan sebulan itu tidak sebanding dengan penghasilan yang bisa mereka raup di jalanan—empat-lima puluh ribu sehari ditambah dengan kemerdekaan diri yang tetap menjadi hak mereka seutuhnya?
Bagaimana cara kita mengubah cara pandang mereka agar terbebas dari jalanan dan menjalani hidup yang lebih "layak", lebih "manusiawi"? Bagaimana kepedulian kita? Apakah kita cukup berdiam diri dengan potret yang terpampang di pelupuk mata? Cukupkah dengan khotbah tentang hidup yang benar seminggu sekali? Atau adakah bentuk pendampingan lain?
Dan, aku masih saja termangu….
Sayup-sayup terngiang satu suara, semakin lama semakin nyata dan semakin jelas terdengar: "………segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku"
Aku masih saja termangu panjang…

Esther LS

Akhir Mei 2004